PELAJAR JAKARTA YANG HEBAT,
Pernahkah anda melihat ada orang yang asyik dengan gadgetnya, padahal ia dalam kerumunan orang banyak. Atau, seseorang begitu sibuknya memainkan gadgetnya karena sedang asyik dengan gamenya. Atau, seseorang yang tak merasa terganggu sama sekali dengan hiruk pikuk suara orang-orang di sekitarnya, yang penting ia merasa nyaman dengan gadgetnya.
Kejadian di atas kini menjadi pemandangan lazim yang kita lihat dimana-mana. Saat berlangsung arisan, seminar, menunggu di bandara, di stasiun, terminal, di rumah makan, dan seterusnya.
Manusia sibuk dengan kesenangan, kepentingan, dan hobbi masing-masing melalui gadgetnya. Itulah phubbing. Pelakunya disebut phubber.
PHUBBING dipahami sebagai tindakan atau kelakuan, orang yang sibuk sendiri dengan gadget di tangannya, sehingga tidak peduli dan perhatian lagi dengan orang lain dan kejadian di sekelilingnya.
BAGAIMANA SEHARUSNYA ?
Dulu, tatkala ada kerumunan orang : betapa tiap orang saling berinteraksi, ngobrol, bercanda, berdiskusi, dan saling menyapa secara verbal. Kehangatan interaksi sosial begitu terasa. Manusia saling bertanya, saling menjawab, saling menjelaskan sesuatu, dan saling meyakinkan kepada yang lainnya.
Kerumunan tampak sebagai kumpulan orang yang menggambarkan saling membutuhkan, saling memberi info , bahkan saling tergantung.
Kohesi sosial begitu rekat, menyatu, dan kokoh tangguh. Itulah yang kita saksikan sekaligus sebuah fenomena dan fakta bahwa ikatan sosial, kohesi sosial, dan ikatan psikologis begitu kuat.
Sampai pada derajat tertentu sebenarnya phubbing bisa dipahami dan dimaklumi. Pada orang tertentu dan pada kondisi tertentu, jika memang harus memegang gadget karena harus mengirim whatsApp, membalas whatsApp, membuat artikel, bahkan mengambil keputusan penting dengan pihak lain.
Sepanjang phubbing dilakukan untuk hal yang penting dan mendesak, tentu menjadi hal yang baik, dan bahkan suatu keharusan.
Menjadi masalah adalah phubbing yang tidak proporsional, berlebihan, bahkan hanya untuk iseng dengan mengabaikan orang lain.
Pada derajat tertentu, phubbing dapat dikategorikan menjadi perbuatan atau perilaku tidak etis atau tidak sopan.
TIGA REKOMENDASI :
Betapapun, sebagai makhluk sosial yang harus hidup bermasyarakat, tentu saja kita harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat.
Disatu sisi, kita harus menunaikan kepentingan pribadi. Namun, kita juga harus memperhatikan etika sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Keseimbangan itulah yang sewajarnya kita lakukan. Sibuk dan menyibukkan diri dengan kepentingan diri sendiri tentu menjadi keharusan dan keniscayaan.
Manakala seseorang harus menyelesaikan persoalan pribadinya dan terpaksa harus melakukan phubbing, tentu saja tidak menjadi masalah. Yang penting masih dalam taraf yang wajar, dalam batas toleransi, dan proporsional.
Itulah sebabnya , patut kita memperhatikan rekomendasi berikut :
1. CERDAS LINGKUNGAN :
Tak ada manusia yang bisa hidup tanpa orang lain. Sehebat, sepandai, atau sepopuler apapun seseorang, tetap saja akan memerlukan orang lain.
Jadilah pendengar yang baik. Hindari melakukan phubbing manakala sedang rapat, pertemuan resmi, atau atasan sedang memberikan arahan. Kesantunan seseorang dapat ditakar sejauh mana ia memiliki sikap mendengarkan orang lain sedang berbicara.
Kecakapan mendengar seseorang direfleksikan dalam bentuk memperhatikan orang lain yang sedang berbicara.
Mendengarkan adalah kesetiaan.
Mendengarkan adalah pengabdian.
Mendengarkan adalah penghormatan.
Mendengarkan itu menyempurnakan kepribadian.
2. PHUBBER PROPORSIONAL:
Sibuk dengan gadgetnya tidak selamanya salah dan negatif dan tak boleh siapapun memvonis secara sepihak kepada orang yang sedang sibuk dengan gadget di tangannya.
Bisa jadi saat itulah ia harus mengkomunikasikan hal yang penting kepada saudaranya, sahabatnya, bawahannya, atau bahkan kepada atasannya. Mungkin pula, ia harus berdiskusi serius dengan mitra bicaranya yang nun jauh di sana.
Intinya, setiap orang berhak sibuk untuk menuntaskan urusan dirinya sendiri. Itu pulalah yang memaksa ia untuk menjadi phubber sesaat.
Jadi, seseorang yang melakukan phubbing karena keharusan, maka kita justru harus mentolerirnya.
Bagi seorang penulis, seringkali harus segera menuangkan ide dan inspirasinya seketika muncul dalam pikirannya. Bisa jadi gagasannya muncul tatkala sedang banyak orang, sedang berlangsung hiruk pikuk suasana. Menunda menuliskan berarti lenyap gagasan. Menyegerakan adalah keharusan.
Yang tak boleh adalah jika seseorang melakukan phubbing kerana karakter yang didasarkan pada kecuekannya pada orang lain.
Ia telah melakukan suatu perbuatan asosial, tak peduli dengan orang lain, dengan suasana lingkungannya, dan lebih parah jika ia tak peduli bila ada orang lain yang membutuhkan bantuannya.
3. EMPATI TINGGI :
Empati mewujud dalam bentuk merasakan seperti yang sedang orang lain rasakan. Empati secara kasat mata terlihat bagaimana seseorang turut serta bersedih manakala orang lain sedang berduka. Empati juga kasat mata terlihat ikut bahagia dan gembira manakala orang lain juga sedang gembira.
Empati juga bisa mewujud dalam sikap seseorang yang tak melakukan phubbing manakala sedang berada dalam kerumunan orang. Tidak menjadi phubber tatkala sedang dalam suasana yang justru harus berinteraksi dengan orang lain.
Empati juga bisa diwujudkan dalam bentuk menunda sementara tidak sibuk dengan gadgetnya karena ada orang lain yang sedang berbicara dengan kita, atau sedang memerlukan atensinya, atau memerlukan bantuannya.
PELAJAR JAKARTA YANG HEBAT, AYO MAJU BERSAMA AGAR HEBAT SEMUA.
(Tulisan ini saya desikasikan untuk para peserta didik dan pemerhati pendidikan di Provinsi DKI Jakarta, dengan harapan kita menjadi manusia yang menjunjung tinggi kesantuan, kesopanan, dan keadaban dalam pergaulan).
Oleh : Tulus Winardi.